Pages

Search This Blog

Followers

like Batu

Jumlah Paparan Halaman

Ahad, 15 Mei 2011

‘Kalah’ Melawan Al-Quran, Dr Jeffrey Lang Menerima Islam

"
Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenali dengan sifat ingin tahu. Beliau kerap menanyakan logiknya sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional.

Ayah, ayah percaya syurga itu wujud?” tanya Jeffrey sewaktu ia kecil kepada ayahnya tentang kewujudan syurga, ketika kedua-duanya berjalan bersama anjing peliharaan mereka di pantai.



Notre Dam Boys High

Ketika menjadi siswa tahun akhir di Notre Dam Boys High, sebuah sekolah Katholik, Jeffrey Lang memiliki beberapa penolakan rasional terhadap keyakinan akan kewujudan Tuhan. Perbincangannya dengan pendita sekolah, orang tuanya, dan rakan sekelasnya tak mampu memuaskannya tentang kewujudan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah kewujudan Tuhan ketika usianya 18 tahun.

Ia akhirnya memutuskan untuk menjadi atheis pada usia 18 tahun. Ketika sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami satu mimpi. 

Berikut cerita Jeffrey Lang tentang mimpinya itu: Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa sebarang perabot. Tak ada apa pun di dinding ruangan itu yang berwarna putih kelabu.


Satu-satunya ‘hiasan’ adalah permaidani berwarna merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.

Kami membentuk barisan. Saya berada di barisan ketiga. Semuanya lelaki, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap ke arah jendela.

Terasa asing. Saya tak mengenali seorang pun. Mungkin, saya berada di sebuah negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sedar yang kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri berseorangan di hadapan. Saya hanya dapat melihat sekejap bahagian punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia memakai seakan topi putih di kepalanya, dengan corak merah. Ketika itulah saya terbangun.

Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa tenang ketika tersedar dari tidur. Satu perasaan tenang yang aneh. Ia tak tahu apa itu.

University of San Francisco

Sepuluh tahun kemudian, ketika pertama kali memberi kuliah diUniversity of San Francisco, dia bertemu pelajar Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan itu, Jeffrey menjadi rapat dengan pelajar tersebut dan mengenali keluarga pelajar itu. Agama bukan menjadi topik perbahasan ketika Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga pelajar tersebut. Lama selepas itu, salah satu anggota keluarga pelajar tersebut memberikan Al-Quran kepada Jeffrey.

Sekalipun tidak berniat untuk mengenali Islam, Jeffrey mula menyelak Al-Quran dan membacanya. Waktu itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.

“Anda tak boleh hanya membaca Al-Quran, tidak boleh jika anda tidak menerimanya secara serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Al-Quran, atau kedua, ‘menentangnya’,” ungkap Jeffrey.

Ia kemudian merasakan dirinya berada di tengah-tengah pergelutan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ diri anda secara langsung, begitu peribadi. Al-Quran akan berdebat, mengkritik, memalukan, sekaligus mencabar anda. Sejak awal ia (Al-Quran) menggariskan satu garis perang, dan saya berada di wilayah yang bertentangan.”


“Saya menderita kekalahan yang parah (dalam pergelutan). Dari situlah, jelas bahawa 'Penulis' (Al-Quran) mengenali diri saya lebih baik daripada saya mengenali diri saya sendiri,” kata Jeffrey. 




Jeffrey 

mengatakan seakan Penulisnya dapat membaca fikirannya. Setiap malam 


Jeffrey memikirkan 


sejumlah pertanyaan dan persoalan, namun selalu menjumpai jawapannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman 

Al-Quran 


secara berurutan.


“Al-Quran selalu melangkaui pemikiran saya. Ia menghapuskan halangan yang telah saya hadapi bertahun-tahun lalu dan menjawab persoalan saya.” Jeffrey cuba melawan dengan keras dengan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergelutan. “Saya dibawa ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”

Al-Quran membawa Jeffrey ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan

Ketika itu, pada awal 1980-an tak ramai Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati terdapat sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana mahasiswa Muslim menunaikan solat. Selesai pergelutan panjang di dalam dirinya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.

Beberapa jam mengunjungi tempat itu, ia mengucap dua kalimah syahadat. Selesai syahadat, waktu solat zuhur tiba dan dia pun diundang untuk menyertainya. Jeffrey berdiri dalam barisan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka solat berjamaah.

Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya berada di atas karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.

“Waktu saya melihat di hadapan, saya melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Kain putih menutup kepalanya, dengan corak merah.”


“Mimpi itu! Saya berteriak di dalam hati. Mimpi itu, sebijik! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya kaku dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya cuba memberi perhatian dan fokus apa yang terjadi untuk memastikan adakah saya tidur. Rasa dingin mengalir pantas ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini benar dan bukan mimpi! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti dengan rasa hangat yang datang dari dalam. Air mata saya bercucuran.”


Ucapan ayahnya sepuluh tahun dulu terbukt benari. Ia kini berlutut, dan wajahnya berada di atas lantai. Bahagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi banyak pengetahuan kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan diri kepada Allah SWT.

Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang membawanya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan ruangan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan terakhir di tangan saya,” ujar Jeffrey kini.

Jeffrey kini menjadi professor jurusan matematik University of Kansas dan memiliki tiga anak. Jeffrey telah menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS: 

Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); 

Even Angels Ask (Beltsville, 1997); 

dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak confereance Islam.

Jeffrey memiliki tiga anak, dan bukan sesuatu yang pelik jika anaknya memiliki rasa ingin tahu yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari Jeffrey ditanya oleh anak perempuannya yang berusia lapan tahun, Jameelah, selesai mereka solat Asar berjamaah. “Ayah, mengapa kita solat?”

“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka soalan itu keluar dari mulut anak yang berusia lapan tahun. Saya tahu jawapan yang paling jelas, bahawa Muslim diwajibkan solat. Tapi, saya tidak ingin bercerita pengalaman dan keuntungan dari solat. Bagaimana pun, selesai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita solat kerana Tuhan ingin kita melakukannya’,”

“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari solat?” Jameela kembali bertanya. “Sukar menjelaskan kepada anak kecil. Suatu hari, jika kamu melakukan solat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan memahami, namun ayah akan cuba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.”

‘Dengar sini anak ayah. Tuhan itu sumber kesemua perasaan kasih sayang, cinta, pemurah dan hikmah terhadap segala keindahan — yang kita alami dan rasai. Seperti matahari sumber cahaya yang kita lihat pada siang hari, Tuhan ada sumber kepada semua ini dan banyak lagi. Justeru, kasih sayang yang ayah rasakan untukmu, adik-adikmu, dan ibumu kesemuanya datang dari Allah. Kita tahu Allah itu Pengasih dan Penyayang melalui segala pemberianNya kepada kita di dalam hidup ini. Tetapi hanya di dalam solat, kita dapat merasakan kasih sayang, pemurahnya Allah, dan nikmat pemberianNya itu di dalam cara yang teramat istimewa, di dalam cara yang amat kukuh.

Misalnya, anak ayah tahu yang ibu dan ayah ini mengasihimu dengan cara kami berdua mengambil berat terhadapmu. tetapi hanya apabila kami memeluk dan menciummu, anakku akan dapat merasakan betapa sayangnya kami terhadapmu. Begitulah, kita tahu Allah menyayangi kita semua dan pemurahnya Dia kerana menjagai kita. Namun hanya pada waktu kita solat, kita dapat merasakan cintaNya itu terlalu benar dan istimewa.’

‘Apakah solat itu menjadikan ayah seorang ayah yang lebih baik?’ Dia bertanyaku.

‘Ayah harap begitu dan ayah harap dapat berfikir begitu, kerana apabila seseorang itu telah "disentuh" dengan kasih sayang Tuhan di dalam solat, ia terlalu indah dan kuat ikatannya, sehinggakan seseorang itu merasakan ingin rkongsikannya dengan mereka yang ada disekelilingnya, terutama kepada ahli keluarganya. Kadang-kala, selepas penat bekerja seharian, ayah merasa keletihan dan ayah ingin bersendirian. Tetapi jika ayah dapat merasai kasih sayang Allah di dalam solat, ayah akan segera teringat dan melihat ahli-ahli keluarga ayah dan mengingatkan betapa besarnya pemberian Allah menghadiahkan dirimu kepada ayah, dan kesemua cinta dan kasih sayang yang ayah perolehi kerana menjadi ayahmu dan suami kepada ibumu. Ayah tak kata ayah ini seorang yang sempurna, namun ayah percaya ayah tak mungkin menjadi ayah yang baik tanpa solat.

‘Saya faham apa yang ayah maksudkan,’ jawab Jameelah.

Kemudian dia memeluk saya dan berkata, ‘Dan saya sayang sangat kat ayah!’

‘Ayah pun sayang padamu.’

2 ulasan:

Mss Ieza berkata...

nice :)

Ary ariasputera berkata...

bagus cerita ni.. blog ni sangat bagus..